Minggu, 11 Januari 2009

Bos dan Botol Susu

"Si Bos". Itu panggilan anak keduaku Annida Thifal Qatrunnada. Di rumah dia memang maunya dipanggil Bos. Kakaknya Salma dan adiknya Athar memanggil Mbos. Si bungsu Aisyah memanggil Teh Mbos. Tapi teman-temannya tetap memanggil Annida atau Nida.

Aku lupa pastinya sejak kapan dia minta dipanggil Bos. Pernah suatu saat aku bilang mau ada pemilihan Bos baru di rumah. Syarat untuk jadi Bos, nggak boleh marah-marah, nggak boleh ngompol, dan nggak boleh ngedot. Si Bos ngambek, sebab dialah yang paling tidak memenuhi syarat untuk jadi Bos itu.

Si Bos itu anaknya paling atraktif. Nggak bisa diem. Kita suka ngeledek kenapa Bos nggak bisa diem: karena kebanyakan minum susu sapi, jadi anak sapi. ..he..he.. (sorry ya Bos). Beda dengan kakak dan adiknya yang ASI sampai dua tahun, si Bos, cuma empat bulan mau nyusu ke ibunya. Setelah umur empat bulan minuman bos ya... susu formula, susu dari sapi itu.

Botol susu nggak pernah lepas dari mulutnya. Kalau kami pergi bersama, susu formula dan botol susu Bos harus selalu dibawa. Kalau lupa, bisa ngamuklah dia.

Jadi di rumah sekarang ada dua anak bayi yang masih ngedot. Aisyah dan Bos. Kalau minum susu mereka kompak. Sambil tiduran. Bos dengan botol pegeon birunya berukuran 120 ml, sedangkan Ais dengan ukuran lebih kecil berwarna putih. Mereka jarang mau bertukar botol, kecuali sangat terpaksa.

Sampai sekarang, hampir tujuh tahun (8 Februari nanti tepatnya) Bos masih tetap ngedot. Berulang kali dia janji untuk nggak ngedot, tapi tetap saja nggak bisa lepas dari dotnya. Terakhir dia janji kalau sudah SD nggak ngedot lagi. Kenyataannya...

Sudah banyak usaha untuk melepaskan Bos dari botol susunya. Tapi tak membuahkan hasil. Aku hampir menyerah. Mudah-mudahan kalau Ais sudah tak ngedot, dia juga berhenti.Tapi kapan...?

Entah mengapa kemudian timbul ide untuk membuang botol si Bos. Barangkali kalau botolnya hilang, dia bisa berhenti ngedot. Caranya bagaimana? Bos tak bisa dipaksa, dia bisa ngamuk.

Beberapa kali aku bujuk Bos untuk 'membuat upacara membuang botol'. Rencana semula di atas jembatan Sungai Ciliwung di Jalan Silliwangi. Tak kusangka Bos setuju dengan usul itu. Mungkin dia sudah malu karena masih ngedot, tapi disisi lain dia tak bisa lepas dari botolnya.

Akhirnya, 'upacara ' pembuangan botol Bos disepakati. Berbeda dengan rencana semula, botol akan dibuang di anak sungai kecil tak jauh dari rumah kami. Anak sungai itu bermuara di Ciliwung.

Sabtu (10 Januari 2008) barangkali akan jadi hari bersejarah yang akan dikenang Bos. Dia akan membuang botolnya ke sungai kecil (kali) itu. Aku, Athari dan Aisyah mengantar Bos ke kali yang hanya berjarak sekitar 75 meter dari rumah kami. Kali itu cukup dalam, tapi airnya jarang meluap. Airnya mengalir tak terlalu deras. Aku sering mengajak anak-anak duduk-duduk di bibir kali untuk lomba melempar sampan dari dedaunan.

Bos berjalan dengan gontai. Dia berbicara seperti bergumam pada botolnya. Aku tak bisa mendengar dengan jelas apa yang ia obrolkan dengan botolnya itu.

Tiba di bibir kali, Bos tercenung sejenak. Dia ragu. Aku, Athar dan Ais memberikan semangat. "Ayoo.. Bos..Ayo Bos...Buang Bos.....''

Kali ini Bos benar-benar mengucapkan kata perpisahan pada botolnya." Botol, mudah-mudahan nanti kamu ditemuin anak yang masih kecil, jadi bisa make botol ini. Kalo anak itu sudah gede botolnya dibuang lagi, jadi dia nggak ngedot lagi...".

Dengan yakin Bos melempar botol kesayangannya ke kali. ''Byuuur...." Botol jatuh mulus, dan langsung didayung air.... makin menjauh....

"Selamat jalan botol...," ucap Bos melambaikan tangan pada botolnya.

"Selamat ya Bos. Bos hebat, sekarang nggak ngedot lagi," aku memberikan selamat sambil memeluk dan mengecup keningnya. Adiknya Athar dan Ais ikut menyalami Bos.

Kami segera meninggalkan kali. Tapi Bos masih terlihat termenung di bibir kali yang ditembok rapi itu."Bos masih lihat botolnya di muka De Ais. Kalo ngeliat ke atas, botolnya juga seperti masih ada......."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar